ADSENSE Link Ads 200 x 90
ADSENSE 336 x 280
dokter mengatakan, “kita hanya bisa memperlambat pertumbuhan kankernya bukan mengobati.” Seolah hitungan mundur kematian itu dimulai. Aku limbung dan hampir tak sadarkan diri, sekuat tenaga aku mencoba untuk tetap tegar
“Ya Allah… begitu berat cobaan ini Kau timpakan pada kami”
“Ma’afkan ummi, ummi tak mampu menjagamu selama ini…"
Serangkaian pengobatan medis dilakukan 7 kali kemotherapi, sampai kemo ke 3, kondisi suami sempat membaik, kemo ke 4,5,6,7... selama itu kondisi suamiku semakin menurun..
“Aku ingin ketenangan aku butuh pertolonganMu ya Robb. Kutumpahkan segala permohonan ini dihadapanMu yaa Allah. Bisa saja dokter memfonis dengan analisanya, tapi Engkaulah yang maha kuasa atas segala sesuatunya. Engkau maha menggenggam semua takdir, sakit ini dariMu ya Allah dan padaMU juga aku mohon obat dan kesembuhannya.”
Segala ikhtiar dan do’a tiada lelah kulakukan tuk kesembuhan suamiku. Malam-malamku kulalui dengan solat tahajud. Kubenamkan wajahku diatas sajadah lebih dalam lagi, tiba-tiba aku merasa tak mimiliki kekuatan apapun, aku berada dalam kepasrahan dan penghambaan yang lemah.
“Robb…Engkau maha mengetahui, betapa segala ikhtiar telah kami lakukan. Tiada menyerah kami melawan penyakit ini, kini aku serahkan segalanya padaMu, tidak ada kekuatan yang sanggup mengalahkan kekuatannMu yaa…Robb, Tunjukkan pertolonganMu, beri kesembuhan pada suamiku Ya..Allah.”
Rangkaian kemoterapi sudah beres, suamiku disarankan melakukan pengobatan lanjutan, sinar radiasi di RS santosa bandung, saat itupun kehamilanku sudah masuk usia 9 bulan,
"Bii, maaf ummi g bisa antar abbi ke bdg, abbi sama mamah az ya, takut brojol di jalan, nanti malah repot lagi". Akhirnya suami pergi melakukan serangkaian pemeriksaan untuk radioterapi,
6 Juni 2017,, hari ke 11 bulan ramadhan, anak yang kedua ku lahir,, tanpa kehadiran abbi nya,, proses melahirkan yang kedua sangat lah mudah dan cepat, alhamdulillah Allah telah memberikan kemudahan dan kelancaran, segera aku vidio call suamiku, dia pun kaget karena tiba2 aku memperlihatkan bayi kecil padanya,
"Ummi udah lahiran bii"
"Abbi pulang ke tasik sekarang jg mii, pemeriksaan simulatornya udah beres abbi di jadwalin radiasi nya nanti udah lebaran"
Pulang lah ia ke tasik, datang dengan raut wajah ceria, alhamdulillah perempuan, "mau abbi kasih nama "Zahabiya Assyifa farid"
Emas permata yang menyembuhkan..insya allah dengan lahirnya biya, abbi diberi kesembuhan oleh Allah.
25 juni 2017, saat itu hari raya idul fitri,, tiba2 suami mengeluh sakit kepala,
Dan esoknya mengeluh sulit menelan dan sesak nafas, dilarikanlah suamiku ke RS,, dan bayi ku yg baru 2 minggu aku bawa jg, menemani abbi nya di rawat di RS. Pihak RS sempat menolak krn aku membawa bayi, tp karena aku tak bisa meninggalkan keduanya, akhirnya diizinkan, walaupun dengan membuat surat pernyataan bahwa pihak RS tidak bertanggung jawab jika terjadi sesuatu pada bayiku..
Saat itu suamiku masih bisa bicara meski dengan suara kurang jelas. Karena tenggorokannya pun sudah menyempit tersumbat kanker, ia sangat kesulitan dalam bernafas. Masuk minumanpun kesulitan, Untuk memasukan nutrisi ke tubuhnya, dokter menyarankan oprasi gastrostomi, oprasi pasang selang dari perutnya, dan mengantisipasi agar tidak tersumbat saluran nafasnya, dokter menyarankan oprasi tracheostomy dileher suamiku. Akupun menyetujuinya meskipun aku tak tega, tapi hanya ini cara yang bisa diambil.
Suamiku pasrah, dia minta aku menemaninya terus menerus, dan aku mengerti.. aku selalu mendampinginya. Tak pernah jauh darinya...“Sebenarnya aku tak tega melihatmu seperti ini bii, leher di bolongin,perut juga bolong, tapi inilah yang terbaik untukmu saat ini.”
Selesai oprasi, bicaranya sudah tak bersuara lagi. Sejak saat itu praktis komunikasi kami hanya dengan isyarat atau terkadang suamiku menulisnya di hp, mengirimkan lewat WA,, Tentu saja hal ini terasa capek baginya. Namun sekali lagi ia terlihat tegar tak pernah aku mendengar ia mengeluh.
Sepanjang proses pengobatan tak hentinya kupanjatkan do’a dan dzikir dibantu dengan beberapa anggota keluarga.
Saat itu kondisinya sudah sangat menurun, sakit kepala hebat makin sering terjadi,, hasil pemeriksaan ct scan didapatkan, kankernya sudah menyebar ke otak,,
"Ya Allah beri kekuatan pada suamiku…!” Beri kesembuhan melalui ikhtiar selama ini ya Allah.."
Dokter yang menangani nya sudah angkat tangan, ia menyarankan suamiku untuk secepatnya pergi ke bandung untuk melakukan tindakan radiasi, tp karena kondisinya yang semakin menurun, rencana itu kami undur karena menunggu kondisinya membaik dulu..
Namun ternyata seminggu setelah operasi, selang di perutnya mengalami kebocoran, keluar cairan hitam pekat dari lubang di perut bekas oprasi,,
"Kenapa lagi ini?..."
"Mii abbi mau minta dirujuk az ke RSCM jakarta, disini abbi g sembuh2" kata suamiku..
Saat itupun aku meminta dokter untuk membuatkan surat rujukan ke RSCM Jakarta,, dokter mengizinkan... jam 1 tengah malam mobil ambulan mengantar kan kami berdua menuju Jakarta, ya.. hanya aku sendiri yang mengantar suamiku.. hari mulai terang saat kami tiba disana..
Serangkaian pemeriksaan dilakukan.. kondisinya semakin menurun, tapi masih bisa diajak komunikasi,, diapun mengambil hp dan mengetik sesuatu
"Mii, c juve meninggal di rscm kan?"
"Iya"
"Terus c yana zain jg meninggal mii, nanti giliran abbi ya mii"
"Abbi pasti sembuh sayang,"
"Mii, kalo abbi meninggal, abbi pengen dikuburin dekat anak2"
"Apaan sih bi, jangan ngomong yg enggak2" ..
Tak kama kondisinya semakin menurun, memegang hp pun ia tak mampu..
Dia hanya bisa menahan kesakitan yg dirasa,, sambil melirik sesekali ke arahku, sambil berkata,, "sakit mi..."
"Sabar sayang.. coba abbi dzikir dalam hati" ..lailahailallah...
Kuhampiri suamiku yang tergolek lemah. Perawat memasang semua peralatan pada tubuh suamiku, entah alat apa saja ini. Kuusap perlahan keningnya, dingin sekali. Tangan dan kakinyapun sangat dingin. Hingga menjelang asar, aku tak diperbolehkan beranjak dari sampingnya, tanganku ia genggam erat. Tak hentinya mulut ini memanjatkan doa.
Tekanan darahnya sangat tinggi, nadi nya pun cepat, menunjukan angka 200 di layar monitornya. Berkali-kali dokter menyuntikkan obat anti sakit namun hasilnya tetap sama tak berubah, suamiku masih mengeluh kesakitan. Dokter memanggilku, perasaanku gelisah tak menentu, campur aduk antara cemas, bimbang dan ketakutan yang amat sangat. Dugaanku benar Dokterpun menyerah.
Melihat kondisinya yang terus menurun dokter memberitahu bahwa kondisi suamiku sudah sangat melemah, secara medis kondisi suami sudah tidak dapat ditolong lagi, lebih baik kita do’akan saja.” Aku benar-benar lemas mendengarnya seluruh badanku gemetar merinding. “benarkah tak ada lagi harapan.” Tiba-tiba aku merasakan ketakutan yang luar biasa. Aku tak mau menyerah, aku tetap membisikan ke telinga suamiku, bahwa ia jangan menyerah, ia pasti sembuh.
“Aku tak mau kehilanganmu bii.” Ku pegang kuat jemarinya, “buka matamu bii kubisikan lembut ditelinganya. Ia hanya tersenyum lemah...
Pukul 16.00, aku disodori surat pernyataan,, kata dokter ini adalah Surat persetujuan untuk tidak dilakukan tindakan apapun jika terjadi apa2 sama suamiku. Akupun pasrah “tak sanggup rasanya hati ini kehilanganmu, aku ingin tetap menatap wajahmu, aku ingin tetap mendampingimu meski dalam ketidakberdayaanmu.”
"Abbi…..inilah yang terbaik yang diberikan Allah buat kita, maafkan ummi, tak bisa menjagamu selama ini. Ummi ikhlas abbi pergi, ummi terima semua dengan ihklas..
Jangan khawatir bii, ummi akan menjaga dan merawat anak-anak kita,” kubisikan lirih ditelinga suamiku.
Dalam setiap rangkaian doaku tak pernah aku mengucapkan kata-kata menyerah “kalo memang hendak Engkau ambil maka mudahkan,” tak pernah aku menyebut kata-kata itu. Aku selalu minta kesembuhan, kesembuhan karena aku memang menginginkan suamiku benar-benar sembuh.
Sepertinya kini aku harus menyerah dan pasrah “Ya.. Robb jika memang Engkau menentukan jalan lain aku ikhlas ya Allah…., mudahkan jalan suamiku untuk menghadapmu dengan khusnul khotimah.”
Kubimbing suamiku menyebut kalimat “LAAILAHA ILLALLAH MUHAMMADUR ROSULULLAH.. Kuulang hingga berkali-kali..
Dua bulir bening tersembul dari sudut matanya. Aku merasakan ia sanggup mengikuti kalimat ini..
Pukul 16.40 ia menghembuskan nafasnya yg terakhir..
“bu, bapak sudah tidak ada.” ujar dokternya. aku tau maksudnya tapi aku masih tak percaya. Kutengok layar monitor yang terhubung ketubuh suamiku. Tak ada lagi yang bergerak disana.
kudekap tubuh lemas suamiku.. ku kecup bibirnya, dan ku usap matanya... “INNA LILLAAHI WAINNA ILAIHI ROOJIUUN.”
Aku termenung disampingnya tapi tak ada lagi air mata yang keluar. “ummi ikhlas melepasmu bii, Allah telah memilihkan jalan terbaik buat kita.”
Selamat Jalan suamiku Andrie K Farid …… jemput aku dan anak-anak nanti di pintu SurgaNya......
Boleh di share gak usah izin ya,, semoga cerita ini bermanfaat..
Sumber: tribun